Bulir-bulir airmata pramugari itu mengalir seiring kata-katanya yang terpatah-patah, “aku ingin berhijab tadz”, begitu katanya. Hari itu, tanggal 28 februari aku ada di lambung burung besi. Melompat dari satu kota ke kota yang lain, sebagaimana biasanya. Entah mengapa aku tak pernah nyaman berada kecuali di kursi lorong, enggan aku menengok jendela apalagi terjepit di tengah.
Dari tempat dudukku, 33H, yang artinya tengah pesawat, aku bebas memandangi isinya namun lebih tertarik pada buku yang baru kubeli. Tak lebih dari 3 hari kubaca, aku sudah sampai halaman 75. Waktu terbaik membaca memang saat terbang pikirku.
Pramugari melayani penumpang seperti biasa, “nasi ayam atau ikan? mau minum apa?”, pertanyaan sama yang entah berapa kali kudengar. Aku tak bernafsu makan mengingat lingkar perut yang terus mengkhawatirkan, kuputusan memesan secangkir jus jambu merah kotakan saja. Baca entri selengkapnya »