Rumahku Surgaku

Keluarga Sakinah Mawaddah wa Rohmah

Ketika Cerai Kian Enteng

Posted by Farid Ma'ruf pada Juni 1, 2007

Baitijannati. Boleh, tapi sangat dibenci Allah SWT. Itulah perceraian. Sedemikian geramnya Allah pada perpisahan pasangan suami-istri, sehingga digambarkan ulama bahwa arasy Allah bergetar hebat karenanya.

Ironisnya, angka kasus perceraian justru kian meningkat. Dan, perpisahan itu semakin berasal dari inisiatif pihak istri alias cerai gugat (lihat tabel).

Misalnya di Makassar, Sulawesi Selatan. Data 1999-2003 menunjukkan kasus cerai yang diproses di Pengadilan Agama Makassar terus mengalami peningkatan. Tahun 1999, misalnya, cerai talak 198 kasus, cerai gugat 326 kasus. Menyusul tahun 2000 terdiri dari cerai talak 232, cerat gugat 427 kasus dan tahun 2001 cerai talak 205 kasus , talak gugat 372, dan 2002 sebanyak 221 cerai talak dan 385 cerai gugat, terakhir tahun 2003 tercatat sebanyak 235 cerai talak dan cerai gugat 426 kasus.

Di Bandung, Jawa Barat, pun begitu. Selama periode Januari-Agustus 2004, jumlah perceraian yang tercatat di Pengadilan Agama PA Bandung mencapai 1.093 kasus. Hampir 70% dari 1.093 kasus cerai itu adalah cerai gugat, yakni istri menggugat suami.

Malang juga sami mawon. Berdasarkan catatan Panitera Pengadilan Agama Kabupaten Malang, Jawa Timur, ada 2274 kasus gugatan cerai sejak Januari-Juli 2004. Angka ini lebih tinggi dibanding angka kasus tahun-tahun sebelumnya. Angka itu menunjukkan, dalam sehari setidaknya ada 10 kasus gugatan cerai. Sebanyak 1.444 atau 63,50% kasus itu diajukan oleh istri.

Faktor Ekonomi

Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak (PA), Arist Merdeka Sirait dalam acara “Mengupas Masalah Aktual Anak”, di Kantor Komnas PA, Jakarta (4/4/07), biang utama perceraian adalah masalah ekonomi. Dari 109 kasus perceraian di DKI yang dilaporkan ke Komnas PA pada 2006, 26 kasus (23,85%) terjadi karena faktor ekonomi. Faktor lain karena pertengkaran terus-menerus 21 kasus (19,26%), kekerasan dalam rumah tangga 13 kasus (11,92%), perselingkuhan 9 kasus (8,25%), dan campur tangan dari keluarga 15 kasus (13,76%), kelainan seksual 4 kasus (3,66%). “Faktor lainnya adalah ketidak cocokkan, sebanyak 21 kasus,” katanya.

Data dari Ditjen Pembinaan Peradilan Agama Depag pun menyatakan, faktor ekonomi dan selingkuh telah menjadi biang perceraian keluarga nomor wahid dan nomor empat.

Mengapa perceraian jadi begitu mudah bagi kaum perempuan?

Majalah Time (Asia’s Divorce Boom, 5 April 2004) menyebut karena kaum hawa semakin sadar dengan tuntutan kesetaraan dalam kehidupan berumah tangga. Selain itu, banyak perempuan Asia yang tidak lagi mau menomorduakan kebutuhan mereka setelah kebutuhan suami. Seorang public prosecutor di Thailand yang diwawancarai menengarai, kasus perceraian meningkat karena istri zaman sekarang lebih individualistis. Jika menghadapi masalah dalam pernikahan, mereka cenderung lebih memikirkan kepentingan mereka sendiri ketimbang keharmonisan keluarganya.

Perempuan Asia masa kini juga semakin independen secara finansial, simpul seorang pengacara Malaysia seperti dikutip Time. Hal ini diperkuat ucapan selebriti Alya Rohali yang juga dikutip Time. “We have proved that we can succeed financially, with or without a man,” kata Alya yang gagal dalam perkawinan pertamanya.

Dalam kasus perceraian di Malang, menurut Siti Romiyati, Wakil Panitera PA Kabupaten Malang, kebanyakan penggugat adalah tenaga kerja wanita (TKW). Mereka ini umumnya berdomisili di kecamatan yang menjadi kantong-kantong TKW seperti Dampit, Gondanglegi, Pagelaran, Donomulyo, Pagelaran, Tumpang, dan Kepanjen.

Siti menjelaskan, gugatan cerai banyak diajukan para TKW sepulang dari luar negeri. Mereka mengalami perubahan gaya hidup. Pengalaman dan hasil bekerja keras di luar negeri membuat mereka ingin tampil lebih modern dan modis. Begitu melihat sang suami masih bertahan pada penampilan ndeso (katrok), tentu saja mereka tidak tahan.

Faktor Selingkuh

Tahun 2005, ada 13.779 kasus perceraian yang bisa dikategorikan akibat selingkuh; 9.071 karena gangguan orang ketiga, dan 4.708 akibat cemburu. Persentasenya mencapai 9,16 persen dari 150.395 kasus perceraian tahun 2005 atau 13.779 kasus. Dengan kata lain, dari 10 keluarga bercerai, satu diantaranya karena selingkuh. Rata-rata, setiap dua jam ada tiga pasang suami istri bercerai gara-gara selingkuh.

Perceraian karena selingkuh itu jauh melampaui perceraian akibat poligami tidak sehat yang hanya 879 kasus atau 0,58 persen dari total perceraian tahun 2005. Perceraian gara-gara selingkuh juga sepuluh kali lipat dibanding perceraian karena penganiayaan yang hanya 916 kasus atau 0,6 persen.

Di kalangan TKW malang, perselingkuhan yang membubarkan perkawinan bisa dilakukan kedua belah pihak. Misalnya ulah sang suami yang berfoya-foya, berselingkuh dan kemudian kawin lagi dengan uang kiriman istri.

Sebaliknya, tak sedikit TKW yang mudik membawa gandengan baru dan meninggalkan suaminya. Sjaiful Effendi, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Tumpang, menerangkan, setiap bulan ada saja TKW yang baru tiba di daerah asalnya minta dinikahkan dengan warga asing yang sudah mereka bawa dari luar negeri. Umumnya, sang pria adalah warga negara tempat TKW bekerja dan atau pria dari negara lain yang juga bekerja di negara yang sama. Kebanyakan pasangan ini merupakan sesama rekan kerja. Sejak Januari hingga Agustus, lebih dari 10 kali KUA Tumpang menikahkan TKW dengan pria asing.

Di Jakarta, Komnas PA mengungkapkan, dari 9 kasus perceraian akibat perselingkuhan, 7 di antaranya dilakukan ibu yang berselingkuh dengan pria lain.  “Memang mengejutkan, tapi itulah yang kami temukan,” kata Sekjen Komnas PA, Arist Merdeka Sirait.

Menyimak latar perselingkuhan, tak lepas dari semakin merangseknya kaum wanita ke ranah publik untuk mencari nafkah. Hal ini tampak pada data penelitian perselingkuhan di  kalangan eksekutif pria Jakarta yang disigi Asya (2000). Selingkuh dilatari hasrat afeksi tetinggi yaitu akibat sering ketemu (33%). Tak heran bila rekan kerja merupakan pasangan selingkuh paling banyak (23%) setelah mantan pacar (37%).  (www.baitijannati.wordpress.com)

Aya hasna

Sumber : Tabloid Suara Islam Edisi 19 (Minggu III-IV April 2007)

2 Tanggapan to “Ketika Cerai Kian Enteng”

  1. nurlina said

    kenapa ya harus ada perselingkuhan?

  2. menikah merupakan sebuah komitmen,jadi tidak bisa kita salahkan si laki2,atau si perempuan,sama2 mempunyai andil dalam keretakan sebuah rumah tangga

Tinggalkan komentar